Kita barangkali pernah merasa iri mengapa orang lain bisa meraih
prestasi sangat bagus? Membandingkan dengan upayanya, kita mungkin
merasa sudah bekerja keras. Sangat keras malah, hingga kita melupakan
hal-hal lain yang menyenangkan, yang kita sukai. Namun, capaian kita
ternyata sedang-sedang saja.
“Mengapa sebagian orang mampu meraih prestasi puncak dan yang lain
tidak?” Pertanyaan kita ini serupa dengan pertanyaan yang diajukan
Charles Garfield. Beberapa tahun yang silam ia melakukan riset untuk
menjawab pertanyaan itu. Bersama stafnya di lembaga riset Peak
Performance Center, Berkeley, AS, Garfield mencermati 1.500-an orang
yang sukses di berbagai bidang kehidupan.
Bagaimana hasil risetnya? Garfield menyebutkan sejumlah aspek yang membuat orang-orang berkinerja puncak (peak performer) ini meraih keberhasilannya.
Jalanilah hidup sepenuhnya; ini yang
pertama. Kita mungkin kerap mendengar adanya orang-orang yang berkemauan
keras, hingga membawa pekerjaan kantor ke rumah dan berkutat hingga
larut malam. Orang-orang seperti ini, kata Garfield, cenderung mencapai
puncaknya pada saat yang dini. Lalu prestasinya akan menurun. Mereka
asyik dengan pekerjaan itu sendiri dan tidak peduli pada hasilnya.
Orang-orang yang berprestasi puncak memang selalu bekerja keras, tapi
dalam batas-batas yang tegas dan jelas. Bagi mereka, bekerja bukanlah
segala-galanya. Dalam risetnya, Garfield mewancarai pimpinan puncak 10
perusahaan. Mereka, menurut Garfield, justru tahu bagaimana bersantai,
mereka tak mau membawa pekerjaan ke rumah, dan mereka berteman akrab
dengan tetangga dan sahabat.
Garfield juga mendapati bahwa orang-orang yang meraih prestasi puncak
memilih pekerjaan yang benar-benar mereka senangi. Mereka memakai dua
pertiga waktu kerjanya untuk menyelesaikan pekerjaan yang mereka sukai
dan waktu sisanya untuk menggarap pekerjaan lain. Mereka menginginkan
kepuasan yang lebih “dalam” daripada kepuasan “luar” seperti kenaikan
pangkat, gaji, dan kekuasaan.
Namun pada akhirnya seringkali mereka memperoleh keduanya. Ini bisa
dimengerti. Lantaran mereka menikmati apa yang mereka lakukan, maka
hasilnya menjadi lebih baik dan gaji mereka pun jadi lebih baik. Di
dalam kesenangan lazimnya tersimpan passion. Karena senang, kita
mengerjakan sesuatu dengan penuh semangat dan suka cita. Hasilnya
niscaya lebih bagus ketimbang bila bekerja di bisang yang kurang atau
malah tidak disukai.
Kebiasaan melakukan mental exercise juga berkontribusi
positif. Maksudnya adalah melakukan latihan di dalam pikiran guna
menghadapi tugas-tugas yang menanti. Sebelum masuk ke dalam situasi
sulit yang nyata, menurut Garfield, para peraih prestasi puncak
membayangkan tindakan yang akan mereka ambil bila menemui situasi itu.
Mereka bukan mengkhayal, melainkan melakukan kalkulasi mental yang
melibatkan ketrampilan yang dibutuhkan untuk suatu aktivitas. Hasilnya
ternyata luar biasa. Seorang pemain piano berkebangsaan China, yang
selama masa Revolusi Kebudayaan, ditahan di penjara selama tujuh tahun,
masih mampu bermain piano dengan baik pada saat ia keluar dari penjara.
“Setiap hari saya melakukan latihan di dalam pikiran,” ujarnya.
Mereka mengejar hasil, bukan kesempurnaan. Banyak orang yang ambisius
dan bekerja habis-habisan untuk mengejar kesempurnaan, tapi hasil yang
dicapai begitu kecil. Seorang manajer menghabiskan waktu berbulan-bulan
untuk menyelesaikan rencana pemasaran, dan ketika rencana itu dieksekusi
pasar sudah berubah sebab para pesaing yang bekerja lebih cepat lebih
dulu menuai hasil.
Garfield menyebutkan bahwa mereka yang berpenampilan puncak selalu
bebas dari keinginan untuk sempurna. “Mereka tidak menganggap kesalahan
sebagai kegagalan,” katanya. “Bahkan dari kegagalan, mereka belajar
untuk tampil lebih baik pada kesempatan berikutnya.”
Orang-orang yang prestasinya bagus umumnya orang-orang yang rela
menanggung risiko. Banyak orang yang senang menetap di zona kenyamanan (comfort zone).
Daripada mengambil kesempatan baru, betapapun menggiurkan, banyak orang
lebih suka berada di wilayah yang aman, kendati ia harus membayar hal
itu dengan keadaan yang biasa-biasa saja dan rasa bosan. Tak banyak
orang yang sanggup dan berani memikul tanggung jawab besar dengan keluar
dari zona kenyamanan.
Mereka yang mampu meraih prestasi puncak, menurut Garfield, berani
memikul risiko sebab mereka telah mempertimbangkannya secara cermat,
termasuk bagaimana mereka akan bersikap jika ternyata gagal. Di sinilah
kontribusi mental exercise sangat berperan.
“Jika saya ingin mengambil keputusan penting,” ujar seorang
eksekutif, “maka di dalam imajinasi saya, saya membuat kalkulasi
mengenai situasi yang paling buruk. Saya membayangkan hal terburuk yang
bisa terjadi jika rencana itu saya jalankan, dan saya bertanya pada diri
sendiri, apa yang akan saya lakukan? Dapatkah saya hidup dengan
kegagalan itu? Seringkali, saya menjawab ya. Jika tidak, saya tidak mau
mengambil peluang itu.”
Dengan membangun “skenario kasus yang paling buruk” seperti kata
Garfield, Anda bisa membuat pilihan yang rasional. Jika Anda tetap
terpukau oleh ketakutan, Anda tak akan mempunyai pilihan sama sekali.
Terkadang orang menyepelekan potensi orang lain, tapi yang lebih
buruk dari itu ialah menyepelekan potensi diri sendiri. Kita mungkin
lebih terbiasa melihat keterbatasan-keterbatasan yang ada dalam diri
kita ketimbang melihat kelebihan-kelebihah yang kita punya. Dalam banyak
hal, apa yang kita “tahu” mengenai keterbatasan itu bukan fakta yang
nyata, melainkan hanya kepercayaan yang membatasi diri sendiri. “Ini
merupakan kendala terbesar untuk meraih prestasi tinggi,” ujar Garfield.
Dahulu, orang “tahu” bahwa “tidak mungkin” bagi manusia untuk lari
sejauh 1,5 km dalam waktu kurang dari 4 menit. Berbagai tulisan di
jurnal kedokteran, menurut Garfield, juga telah “membuktikan” bahwa
tubuh manusia tidak mungkin melakukannya. Tapi kemudian, pada 1954,
Roger Bannister menembus batas 4 menit itu. Dua tahun berikutnya, ada 10
atlet lagi yang mengikuti jejaknya.
Fakta itu bukan berarti manusia tidak memiliki batas kecepatan.
Namun, sebenarnya kita jarang mengetahui secara tepat di mana batas itu.
Tak heran bila banyak di antara kita yang menetapkan ambang batas jauh
di bawah apa yang sebenarnya dapat kita raih. Para peraih puncak justru
mampu mengabaikan batas-batas semu ini.
Mereka yang berpenampilan puncak lebih memusatkan perhatian pada
bagaimana melakukan usaha yang lebih baik dari sebelumnya ketimbang
sekedar menaklukkan pesaing. Kerisauan terhadap kemampuan pesaing
acapkali membawa pengaruh yang merusak diri kita. Alih-alih memikirkan
persaingan dengan orang lain, mereka memilih bersaing dengan diri
sendiri.
Para peraih prestasi puncak umumnya mampu melakukan kerja dengan
standar sendiri. Mereka cenderung menjadi “pemain inti” daripada “pemain
tunggal”. Mereka tahu bahwa persoalan yang rumit akan bisa ditangani
dengan lebih baik oleh kelompok daripada oleh orang per orang. Mereka
rela membiarkan orang lain melakukan peranannya atas pekerjaan itu.
“Pemain tunggal”, yang acapkali terlalu takut terhadap pesaing, tak bisa
mendelegasikan pekerjaan atau pengambilan keputusan yang penting.
Penampilan mereka terbatas sebab mereka ingin melakukan segalanya
sendiri.
Jika ingin lebih memanfaatkan bakat Anda, belajarlah mempergunakan
ketrampilan itu. Anda mempunyai daya untuk mengubah kebiasaan berpikir
Anda dan memperoleh kekuatan tertentu. Jika ini yang Anda lakukan, Anda
bisa meningkatkan kinerja, produktivitas, dan kualitas keseluruhan hidup
Anda. * *
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Post a Comment