Dalam situasi genting dan mendesak, Gus Dur—saat menyusun
kabinetnya—meminta Mahfud M.D. untuk menjabat posisi menteri pertahanan.
Mahfud hampir menolak penunjukannya. “Alasan saya,” kata Mahfud, yang
kemudian juga menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi dan kini sudah mantan,
“karena saya tidak memiliki latar belakang soal TNI/Polri atau pun
pertahanan.”
Gus Dur lalu mengeluarkan jawaban yang membuat Mahfud tak bisa
menolak permintaannya. “Pak Mahfud harus bisa,” ujar Gus Dur, “Saya
menjadi Presiden juga tidak punya latar belakang presiden, kok.” Dengan
kelakarnya itulah Gus Dur memecah kebuntuan dan membuat orang lain tak
bisa berkata lain kecuali setuju.
Banyak pemimpin/pejabat (perusahaan, politik, birokrasi pemerintahan,
dan lain-lain) yang menganggap bahwa kelakar tidak pantas disampaikan
di tengah pidato di hadapan khalayak ataupun dalam pembicaraan
empat-mata. Tak heran bila pidato mereka kering dan membikin hadirin
mengantuk. Padahal kelakar dapat mendekatkan jarak di antara yang pidato
dan yang mendengarkan, merekatkan ikatan di antara yang memimpin dan
pengikutnya. “Rasa humor itu bagian dari seni kepemimpinan,” kata Dwight
Eisenhower, presiden AS ke-34, “agar orang-orang mau bergerak, agar
berbagai hal berjalan.”
Sebagaimana dipelajari oleh ahli
manajemen, banyak manfaat yang diperoleh dari kelakar yang disampaikan
dengan tepat, di antaranya:
Kelakar itu mencairkan. Di tengah suasana kaku, kelakar dapat
mengencerkannya, membuat orang-orang jadi rileks dan tidak merasa
terintimidasi. Ketika negosiasi bisnis tengah berlangsung, pemasok,
pelanggan, mitra biasanya lebih lunak bila diajak berbicara dalam
suasana yang diwarnai kelakar. Bawahan juga lebih membuka diri kepada
manajer.
Kelakar itu meredakan. Barangkali hampir setiap minggu orang
dihadapkan pada situasi tegang. Macam-macam penyebabnya, misalnya
negosiasi gagal, terjadi kesalahan operasional, dan lain-lain. Ketika
ruang rapat terasa memanas karena ketegangan, kelakar dapat menjadi
penolong dalam mendinginkannya, sehingga karyawan dapat tersenyum
kembali, suasana menjadi lebih rileks, orang-orang sanggup berpikir
jernih, dan mudah-mudahnya keputusannya pun jadi lebih baik.
Kelakar itu melunakkan. Orang mungkin lebih suka mendengar kabar baik
lebih dulu ketimbang kabar buruk. Dan kabar buruk bisa menaikkan
tekanan darah. Sebagian orang mungkin sedih karena kawannya dikeluarkan
dari kantor untuk penghematan. Nah, kelakar dapat melunakkan suasana
hati karena mendengar kabar buruk, lalu mengambil hikmah dari situ.
Kelakar bermanfaat untuk merekatkan tim. Kelakar dan tawa bersama
mempunyai fungsi memfasilitasi ‘sense of community’—sekumpulan orang
merasa satu keluarga. Aktivitas outbond memang bagus, tapi di tempat
manapun jurus kelakar dapat dikeluarkan untuk membangun kebersamaan.
Kelakar memberi penekanan. Sehabis rapat, orang seringkali lupa pada
apa yang telah diputuskan. Dua cara untuk membuat peserta rapat ingat:
kemarahan dan kelakar yang pas dosisnya. Pilihan pertama seringkali
membuat orang tergerak menjalankan keputusan dengan rasa takut,
sedangkan kelakar membuat orang lebih sering ingat apa yang semestinya
ia kerjakan dengan rasa gembira.
Kelakar itu memotivasi. Siapapun sangat mungkin menyadari telah
berbuat salah dan mau belajar. Tapi, seringkali, orang menjadi defensif
manakala sikap atasan dipandang memalukan dirinya. Misalnya, memarahi di
hadapan orang banyak. Kelakar yang tepat membuat seseorang menyadari
kesalahannya dan termotivasi untuk memperbaiki diri dan terus maju. Apa
lagi di saat-saat sukar.
Manusia pada dasarnya menyukai kelakar dengan dosis yang pas dan
situasi yang tepat. Bahkan ada orang yang sakit namun masih sanggup
berkelakar mengenai dirinya. Ia, tentu saja, orang yang hebat—ia telah
mampu menguasai dirinya. Dalam kepemimpinan, sense of humor kerap
dikaitkan dengan kepemimpinan yang memprioritaskan pertumbuhan, relasi
yang saling membutuhkan, dan keterlibatan orang lain.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Post a Comment