Pada level personal, menilai kembali hidup kita di tahun lalu dan berusaha membuat rencana di tahun berikutnya bukanlah pekerjaan gampang yang bisa dilakukan oleh setiap orang. Karena untuk melakukan itu diperlukan sikap kejiwaan holistik individu bersangkutan. Instrospeksi dan kontemplasi diri diperlukan kematangan emosi dan kemauan untuk menerima secara jujur diri pribadi. Seseorang yang punya kecerdasan emosi rendah akan sulit melakukan instrospeksi. Seorang yang menderita schizophrenic sepertinya tidak mungkin untuk melakukan instrospeksi diri. Seorang yang congkak dan tinggi hati, jangan diharap punya waktu untuk instrospeksi diri dan berkontemplasi menilai pribadi diri sendiri. Bagi seorang yang pesimistik tentang hidup, instrospeksi dan kontemplasi diri adalah sesuatu yang tidak ada gunanya. Apalagi membuat resolusi tahun berikutnya adalah suatu hal yang menakutkan.
Kenapa pada tahun baru kita merasa didorong untuk membuat resolusi? Untuk apa? Kalau mau, sebenarnya resolusi itu bisa dibuat kapan saja? Kita punya banyak waktu dan kesempatan untuk melakukan itu. Kenapa harus menunggu tahun baru? Kenapa kita merasa lebih bergairah melakukannya di pergantian tahun? Kenapa tidak di pergantian hari atau bulan? Atau bahkan pergantian jam?
Konsep resolusi di akhir tahun itu sebenarnya datang dari budaya barat yang punya persepsi tentang waktu berbeda dengan persepsi budaya kita?
“… pergaulan saat ini harus memakai ‘mata hati’…”
Karena alasan-alasan itulah, masyarakat industri modern membuat jadwal tentang waktu mereka. Jadwal waktu mereka terpecah hingga sekecil mungkin bisa per detik, menit, hari, bulan dan per tahun. Ada timeframe dan deadline dalam hal pengelolaan waktu mereka. Perencanaan waktu amat penting bagi mereka bila tidak ingin tertinggal dan tergilas waktu yang pada akhirnya akan membuat mereka merasa bersalah, tidak berguna karena harinya lewat dengan percuma. Ketepatan waktu adalah simbol efisiensi bagi masyarakat industri. Jika tidak efisien jangan harap bisa bertahan hidup.
Seketat itukah budaya kita dalam mempersepsi waktu? Kita sepertinya masih akrab dengan budaya jam karet. Waktu tidaklah dipandang sebagai sesuatu yang linear. Waktu lebih dipercayakan pada insting, keberadaan alam dan ritme biologis. Untuk memenuhi sebuah appointment terlambat semenit atau beberapa menit bukanlah sebuah dosa besar. Karena timeframenya tidak disepakati dengan tepat secara sosial. Dalam perjalanan memenuhi ketepatan waktu, waktu tidak diukur dengan waktu sebagaimana konsep negara industri. Waktu lebih banyak diukur oleh irama biologis. Boleh saja berjalan cepat atau lambat sesuai ritme biologis kita dan tidak disinkronisasikan dengan waktu yang disetujui secara sosial memakai jam. Kita sering mendengar dalam keseharian bila mengadakan perjanjian dengan seorang teman, waktu yang disepakati amat luwes. Misalnya habis sholat isak, atau nanti petang, atau habis makan siang dan sebagainya. Jarang kita menyebut jamnya dengan tepat. Waktu tersedia buat kita sepertinya melimpah.
Berdasar konsep waktu yang lebih bersifat melimpah itulah, resolusi sepertinya sebuah konsep yang meragukan untuk bisa ditepati sesuai time frame atau deadline yang ditetapkan. Persepsi waktu yang dipandang tidak secara linear dan berkelanjutan itu, pengalokasian waktu sepertinya menjadi luwes.
Dalam masyarakat kita yang masih belum bisa berangkat sepenuhnya dari alam agraris, individu tidak dituntut dengan keras untuk menyelesaikan segala sesuatu tepat waktu. Kita sepertinya masih hidup dengan budaya kolektif. Tanggung jawab perseorangan adalah juga tanggung jawab kolektif. Jadi jika seseorang itu tidak mengerjakan apa yang digariskan, jarang mereka akan merasa bersalah. Sebab mereka beranggapan bahwa pasti ada orang lain yang akan mengerjakannya. Oleh karena itulah, kita selama ini akrab sekali dengan ungkapan “lempar tanggung jawab”.
Kita saat ini sepertinya berada di dua kutub peralihan. Salah satu sisi kita ingin sesuatu yang praktis menyingkat waktu, tapi di sisi lain kita tidak ingin menginvestasi waktu untuk merencanakan sesuatu yang bermanfaat ke depan. Kita lebih senang menginvestasikan uang kita untuk beli blackberry daripada untuk beli buku. Karena blackberry dipandang lebih praktis untuk digunakan menurut keperluan dan buku adalah sebuah beban waktu untuk membacanya.
Generasi muda kita lebih senang membaca karya luar negeri daripada karya dalam negeri. Karena karya luar negeri telah dibikin film, game untuk dimainkan game player atau lewat internet dengan memakai handphone. Kita memang cenderung lebih sebagai penikmat daripada sebagai pencipta.
Budaya modern yang kita serap dengan gegap gempita adalah hanya kulitnya dan bukan inti kejiwaannya. Kita cenderung hedonistik, konsumtif dan materialistik. Nilai-nilai budaya kita secara berangsur luntur dan ditinggalkan. Fenomena ini telah dirasakan oleh sebuah organisasi sosial yang terkecil yakni keluarga. Generasi muda cenderung tidak hormat pada orangtuanya. Pergaulan dan kesuksesan mereka banyak diukur oleh nilai materi. Generasi muda itu bilang pada orangtua mereka, bahwa pergaulan saat ini harus memakai “mata hati”, artinya rumah, tahta, harta dan tin tin (menirukan suara klakson mobil). Bahkan ada yang bilang, betapa senangnya kalau mereka dilahirkan di Jepang.
Jadi apa resolusi kita untuk tahun 2013? Bisakah kita melakukan perenungan-perenungan diri agar lebih punya nilai secara budaya? Budaya globalisasi menerpa kita dengan keras. Sudah saatnya kita membalikkan pandangan kita pada diri sendiri dan budaya kita sendiri? Usaha ini diperlukan kemauan bersama dan political will dari pemerintah untuk mengoreksi kembali kebijakannya dan tatacara dalam menangani isu-isu sosial kemasyarakatan. Pejabat dan wakil rakyat saat ini lebih sering terjebak mengejar kesenangan diri dan berpola hidup materialistik konsumtif. Kesederhanaan dan kearifan lokal hanya dianut oleh segelintir pejabat saja. Jangan sampai resolusi 2013 hanya berhenti sebagai slogan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya?
Kita hargai kerja keras dan prestasi individu. Kita hargai produk nyata kerja keras dalam penyampaian target. Kita cintai produk diri kita sebagai anak bangsa. Kita dudukkan individu setara dengan kita dalam hak dan kewajibannya. Kita hargai sebuah proses dan tidak hanya barang jadi. Kita hargai individu berdasar tindakan nyatanya dan bukan berdasar atas keyakinannya. Barangkali itu usulan resolusi 2013 yang patut dipertimbangkan bersama.
Post a Comment