Angie, Koruptor yang Dimaafkan?
Kalau kaget ya pastinya, wong dari 12 tahun dan denda sekian miliyar hanya jadi 4,5 tahun
dan denda 200 jutaan. Jangankan masyarakat yang bingung melihat itu,
Ketua KPK dan beberapa yang mengerti masalah hukum saja heran dengan
vonis hakim pada Angie.
Penasaran dengan kejadian dan ramainya putusan vonis Angie yang begitu
banyak mendapat tanggapan negatif dari beberapa pihak, kucoba melihat di
beberapa refferenssi dan teringat pada peringatan hari korupsi seduni
2012 beberapa waktu lalu. Satu persatu dari sambutan Presiden pada
peringatan hari anti korupsi sedunia tahun 2012 dan hari hak asasi
manusi dibaca dengan hati-hati, ternyata ada beberapa kalimat yang
menurut pengertian pribadi adalah wajar, jika pelaku koruptor itu selalu
mendapat vonis rendah dan tidak menjerakan. Mungkinkah Angie adalah salah satu dari sekian banyak koruptor yang dimaafkan?
- Kita mendengarkan dengan saksama apa yang disampaikan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi tadi, dan kemudian dilanjutkan apa pula yang disampaikan oleh Menteri Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia. Ada dua potret yang bisa dihasilkan dari kedua sambutan pejabat tadi
- Korupsi memang masih terus terjadi di negeri kita
- sesungguhnya upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi juga terus dilakukan secara sungguh-sungguh, bahkan boleh dikata masih dan agresif
- jajaran Pemerintah dan menyaksikan sendiri praktik pemberantasan korupsi selama ini, juga tidak ada istilah tebang pilih
- Saya katakan waktu itu, bahwa memberantas korupsi itu adalah sebuah upaya dan agenda berkelanjutan never ending goal, unfinished agenda
- Pengalaman di banyak negara, upaya seperti ini bukan hanya kerja instan, pekerjaan setahun, dua tahun selesai, tetapi sebuah pekerjaan yang memerlukan waktu yang panjang. Dan untuk Indonesia tidak berkelebihan, kalau saya mengatakan ini adalah upaya dan pekerjaan kita selamanya
- Saya hanya ingin mengingatkan kembali dan mendorong para penegak hukum, baik KPK maupun lembaga pemberantas korupsi yang lain untuk memberikan atensi khusus pada empat wilayah atau empat arena
- Pertama, mari kita berikan atensi yang sungguh-sungguh dalam pengadaan barang dan jasa, cegah mark-up, cegah pengeluaran fiktif
- Kedua, lihat secara saksama tentang pengeluaran izin, termasuk yang ada di daerah, utamanya di kabupaten dan kota. Ini memang salah satu dampak negatif dari sentralisasi dan otonomi daerah
- Tiga, mari kita berikan atensi sungguh-sungguh dalam penyusunan dan penggunaan APBN dan APBD. Cegah dan berantas kolusi antara oknum pemerintah dan oknum DPR, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah
- Yang keempat, arenanya adalah penyimpangan di wilayah perpajakan. Pembayar pajak atau wajib pajak bisa tidak memenuhi kewajibannya. Petugas pajak juga bisa melakukan korupsi dan bisa terjadi kolusi antara wajib pajak dengan petugas pajak yang merugikan negara
- Dulu di era otoritarian, kasus korupsi lebih banyak terjadi di pusat dan lebih banyak dilakukan pejabat eksekutif, dulu. Kini, kasus-kasus korupsi tersebar, ada di pusat, ada di daerah, ada di lembaga eksekutif, lembaga legislatif, dan lembaga yudikatif, ada di dunia usaha ataupun elemen kehidupan masyarakat yang lain. Mengapa? Ini menggambarkan bergesernya distribusi kekuasaan di Indonesia, the distribution of power
- Saya berharap semua jajaran penegak hukum, jajaran lembaga audit, jajaran institusi pengawas agar memberikan atensi yang sungguh-sungguh dan betul-betul melihat di arena-arena yang rawan akan korupsi itu
- sistem pengawasan dan monitoring masih memberikan ruang sebenarnya untuk sebuah terjadi tindak pidana korupsi
- Tujuan pertama, kalau kita melakukan monitoring, tracking, kalau ada kemacetan, kita bisa tahu di mana macetnya, di Jakarta atau di daerah
- upaya pencegahan masih harus dilaksanakan secara lebih gigih dan efektif
- Yang diperlukan oleh para penyelenggara negara dan pejqbat pemerinthan itu adalah penjelasan dan aturan yang jelas, sehingga semua pejabat negara benar-benar paham, mana yang dikategorikan korupsi, dan mana yang bukan berkategori korupsi
- Terus terang pengalaman impiris kita selama delapan tuhun lebih ini, saya menganalisis ada dua jenis korupsi. Pertama, memang korupsi itu diniati oleh pelakunya untuk melakukan korupsi, ya sudah good bye. Tetapi ada juga kasus-kasus korupsi terjadi karena ketidakpahaman seseorang pejabat bahwa yang dilakukan itu keliru dan itu berkategori korupsi. Maka negara wajib menyelamatkan mereka-mereka yang tidak punya niat untuk melakukan korupsi, tapi bisa salah di dalam mengemban tugas-tugasnya, tugas yang datang siang dan malam, kadang-kadang memerlukan kecepatan pengambilan keputusan, memerlukan kebijakan yang tepat. Jangan biarkan mereka dinyatakan bersalah dalam tindak pidana korupsi
- hal begini tidak boleh terus terjadi. Sasaran kita dua, bagaimanapun korupsi harus dicegah dan diberantas. Sistem kita harus makin bersih, makin bersih, suatu saat bersih
- mari kita bersama-sama, kita harus mendidik diri sendiri untuk bisa memisahkan minat mana yang merupakan wilayah penegakan hukum, dan mana yang itu wilayah politik. Hukum itu berkaitan dengan kebenaran dan keadilan. Politik, bagaimanapun tidak bebas dari kepentingan atau kekuasaan, serta posisi yang bernuansa politik
- Mari kita berikan kepercayaan kepada para penegak hukum, untuk melaksanakan tugasnya, tanpa gangguan politik apa pun. Jangan diganggu secara politik, berikan kepercayaan, berikan ruang kepada penegak hukum untuk menjalankan tugasnya
- berikan penjelasan kepada rakyat secara proporsional dan profesional, segamblang-gamblangnya, agar masayarakat sungguh mengerti duduk persoalannya, gamblang, jelas, tidak ngambang
- perlu ditingkatkan kontrol terbuka dari masyarakat terhadap upaya menciptakan sistem yang bersih.
Seharunya isi pidato ini dipahami oleh oknum-oknum yang melakukan tindak pidana korupsi yang saat ini kebetulan juga dilakukan oleh oknum anggota partai yang dibina bapak Presiden. Sebagian pelaku korupsi yang berasal dari partai yang dibina oleh bapak Presiden sepertinya menyalah artikan dan tidak mengerti apa yang diinginkan pembinanya. Atau karena merasa sudah anggota dewan jadi tidak perlu lagi nasehat atau masukan dari Presiden, meskipun pada prakteknya mereka itu adalah anggota dari partai yagn dibina oleh bapak Presiden.
Pada sambutan tersebut, jelas sekali bahwa korupsi di Indonesia ini tidak akan habis sampai kapan pun. Jadi biar pun KPK dan penegak anti korupsi lainnya semangat setengah mati, korupsi tetap masih ada seperti pada point 2,3 dan 5 yang dikutipan dari sambutan Presiden pada peringatan hari anti korupsi sedunia 2012 lalu.
Pada point 18 membuka peluang pada pelaku korupsi untuk pura-pura tidak tahu telah melakukan korupsi, sebagaimana tertulis pada point tersebut yang berbunyi "Jangan biarkan mereka dinyatakan bersalah dalam tindak pidana korupsi". Inikah kalimat yang menyebabkan pelaku tindak pidana korupsi selalu mendapat hukuman ringan?
Mungkinkah kalimat tersebut menjadi celah dalam menghukum pelaku tindak pidana korupsi, seperti yang terjadi pada putusan hakim tipikor pada kasus Angie? Kalau iya, berarti Angie adalah koruptor yang dimaafkan. Jadi apa pun teriakan dan omelan siapa pun tidak akan berpengaruh, karena Angie atau pelaku korupsi lainya yang dihukum rendah itu tidak tahu yang dilakukannya itu adalah tindak pidana korupsi.
Menurut pendapat pribadi, bapak Presiden telah ditipu dan dikhianati oleh anggota-anggotanya sendiri dan harus menindak tegas mereka yang telah berkhianat dan membohonginya itu. Disini Bapak Presiden harus lebih tegas dan ini bukan tidak berlaku demokratis atau ikut campur, tapi memang harus kepada anggota yang dibinanya. Agar semua niat baik dari Bapak Presiden itu benar-benar dijalankan oleh mereka-mereka yang menjadi binaan dan tidak menyalah gunakan dan menghancurkan jargon "katakan tidak untuk korupsi". Ayo pak Presiden, pecat anggota yang berkhianat dan jangan biarkan mereka menghancurkan citra bapak Presiden.
Post a Comment