Pernah dengar bahwa ada orang yang berpuasa hanya dapat
lapar dan haus saja? Ini adalah level motif berpuasa kita. Bagaimana
hierarchy of needs Abraham Maslow melihat motif puasa kita?
Bulan Ramadhan jadi ingat beberapa artikel yang dulu
pernah aku baca.Kalau tidak salah artikel itu judulnya Psikologi
Kepribadian. Salah satu isinya adalah tentang Psikologi Humanistik.
Lha kenapa kok inget Psikologi Humanistik pada waktu puasa?
Ini semua gara-gara Maslow. Lho kesannya kok dia bersalah atas sebuah
tuduhan ya..hehehe. Nah, Maslow kan terkenal dengan hierarchy of need.
Ini para motivator atau para ekonom pasti tahu, lebih-lebih yang belajar
psikologi, pasti sudah jadi santapan dasarnya.
Hierarchy of need atau hirarki kebutuhan Maslow adalah pelevelan
kebutuhan manusia dengan isi dan cara pemenuhan yang berbeda-beda.
Perbedaan ini ia levelkan seperti sebuah piramida. Ia juga menyebutnya
sebagai piramida kebutuhan.
Hierarchy of Needs Abraham Maslow (foto: thestamp.umd.edu)
Tetap saja, yang jadi pertanyaan adalah apa hubungannya dengan puasa?
Kok jadi ingat teori ini? Ini karena pertanyaan yang sering muncul
ketika membahas hirarki kebutuhan ini adalah soal puasa sehubungan
dengan kebutuhan dasar pada hirarki Maslow. Bahkan dosenku dulu waktu pelajaran psikolog juga
sering menggunakan pertanyaan itu sebagai contoh dalam penjelasannya.
Pertanyaannya adalah, jika makan adalah kebutuhan dasar, bagaimana
dengan orang puasa. Kenapa orang puasa yang lapar, kok punya orientasi
memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi, padahal makannya saja belum
terpenuhi? Katanya orang puasa menjalankan ibadah yang sangat mungkin
itu dilandasi oleh spiritualitas atau transendensi, tapi kok laparnya
masuk kebutuhan dasar?
Biasanya penjelasan yang berkaitan dengan pertanyaan tersebut
langsung ditujukan pada lapar dan makannya, tanpa memahami terlebih dulu
bagaimana sifat hierarchy of need Maslow tersebut. Karena itulah
beberapa pengajar mengalami kebingungan dengan pertanyaan ini.
Kesalahannya adalah pada pemahaman linear pada level kebutuhan tersebut.
Secara linear, sebuah kebutuhan lanjutan baru akan dipenuhi setelah
kebutuhan dasar sudah dipuaskan. Misalnya saja kebutuhan makan dan
minum. Kebutuhan ini mutlak harus dipenuhi lebih dulu sebelum
melanjutkan kepada kebutuhan akan rasa aman, misalnya mempunyai tempat
tinggal. Kalau perut sedang lapar atau tak bisa membeli makanan,
boro-boro mau mikir kontrak atau beli rumah. Nah, ini yang dikatakan
pemahaman linear dalam memenuhi kebutuhan.
Sebenarnya, Maslow membuat hirarki kebutuhannya tersebut dimaksudkan
untuk menjelaskan energi penggerak. Orang biasa menyebutnya motivasi.
Kalau motivasi adalah sebuah keadaan, maka pendorong terjadinya keadaan
tersebut adalah motif. Nah, tiap level kebutuhan tersebut berperan
sebagai pendorong, meskipun kebutuhan yang dipenuhi sama. Bahkan mungkin
dengan manifestasi perilaku yang sama pula.
Jika tiap level kebutuhan tersebut sebagai motif, maka orang yang
makan atau minum bisa jadi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang
berbeda. Bisa dibilang dilakukan dengan dasar motif yang berbeda.
Coba bedakan antara tiga pertanyaan berikut: 1) apa yang bisa kita
makan hari ini? 2) hari ini kita makan apa? 3) kita makan dimana? Tiga
pertanyaan ini sudah menunjukkan motif yang berbeda, meskipun
ujung-ujungnya makan juga.
Pertanyaan pertama menunjukkan bahwa makan ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan dasar. Ketersediaan makanan digunakan untuk menghilangkan rasa
lapar. Dorongan ini bersifat instinktif dan bersifat sangat primitif.
Coba bedakan dengan pertanyaan kedua. Pada pertanyaan kedua, sudah
ada kesan memilih. Artinya, ketika orang yang bertanya tersebut lapar,
ia langsung tertuju pada pilihan-pilihan makanan. Bagian kedua ini sudah
ada tarik ulur antara dunia dalam dan dunia luar diri. Mungkin saja ini
didasarkan pada kebutuhan akan rasa aman. Misalnya saja orang memilih
makanan mana yang bergizi, makanan mana yang sehat dan bebas bahan
pengawet dan sebagainya.
Sekarang coba kita lihat pertanyaan yang terakhir. “Mau makan dimana”
terlihat paling jelas jika orientasinya justru bukan pada makanannya,
tetapi ditekankan pada tempat makannya. Jika yang pertama berorientasi
ke dalam, pertanyaan kedua mulai ada dialog dunia luar dan dalam,
pertanyaan terakhir ini lebih tertuju pada dunia luar diri. Mungkin saja
pilihan jawaban atas pertanyaan tersebut adalah makan di rumah, warteg,
cafe, restoran dan sebagainya. Karena itulah, pertanyaan ini boleh jadi
menunjukkan motif harga diri. Semakin bergengsi tempat makannya, orang
merasa status sosialnya semakin keren.
Begitu juga dengan puasa. Orang puasa bukan berarti stag, tidak bisa
memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi dari kebutuhan biologis. Bukan
berarti urutannya makannya harus dipenuhi makan dulu baru rasa aman,
mencintai dicintai dan seterusnya.
Artinya, puasa itu sendiri bisa saja bentuk dari aktualisasi diri
atau wujud dari pengalaman puncak. Bisa jadi dalam puasanya, orang
mengalami dirinya yang paling murni, diri yang utuh dan menyatu dengan
konteks dimana ia berada. Ini kembali lagi pada niat dan kekhusyukan
masing-masing yang menjalaninya.
Hierarchy of Needs (revised). Sumber Gambar: systemsthinker.com
Sebagai tambahan, kita pasti sudah pernah mendengar taujiah (nasehat)
tentang puasa, terutama yang berhubungan tentang level puasa. Ada
namanya puasanya orang awam (shoumul awwam), puasanya khusus (shoumul
khowash) dan puasa istimewa (shoumul khowashul khowash). Nah itu juga
didasarkan pada level motif mana kita berpuasa.
Begitu kira-kira penjelasan atas kebingungan status puasa dalam hierarchy of needs.
Nah, puasamu sendiri didasari oleh level kebutuhan yang mana?